Keuntungan Tanpa Etika Sangat Tercela
Dipublikasikan Pada : 25-NOV-2019 09:50:43,
Dibaca : 2417 kali
"Kejujuran adalah anugerah yang mahal. Jangan harapkan itu dari orang-orang murahan," Warren Buffet
Ajinomoto adalah satu dari 36 perusahaan makanan dan minuman terbesar di dunia. Beroperasi di 23 negara, termasuk Indonesia. Namun PT. Ajinomoto Indonesia sempat membuat gejolak sosial yang cukup besar. Apa yang terjadi?
Selayaknya produk makanan dan minuman tanah air, PT. Ajinomoto Indonesia mengurus sertifikat halal di MUI. Setelah melalui uji lab dan prosedur resmi, MUI mengeluarkan sertifikat halal untuk produk Ajinomoto untuk 2 tahun. Berakhir pada September 2000.
Tapi, sejak tahun 1999 Ajinomoto mengganti salah satu bahan baku pembuat MSG. Dari polypeptone yang biasa diekstrasi dari daging sapi, menjadi bactosoytone yang diekstraksi dari daging babi. Untuk apa?
Ajinomoto ingin meraup untung lebih besar menggunakan bactosoytone hasil pembiakan dari Pankreas Babi. Tentu agar biaya lebih ekonomis. Padahal mereka telah mengantongi sertifikat halal. Ini sama saja dengan membohongi pelanggan.
Tahun 2000 Ajinomoto ketahuan. MUI secara resmi mengeluarkan Fatwa agar masyarakat tak mengkonsumsi produk Ajinomoto.
Pemerintah juga turun tangan. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) meminta Ajinomoto menarik semua produknya dari pasaran. Saat itu, Ajinomoto telah memproduksi 10 ribu ton produk MSG. Semuanya ditarik.
Singapura yang jadi pengimpor Ajinomoto dari Indonesia juga melakukan hal yang sama. Menarik bumbu masak kemasan satu kilogram sebagai langkah kepedulian terhadap warga muslim Singapura.
Bukannya untung, langkah yang mengabaikan etika ini justru bikin buntung. Tau berapa kerugiannya? Mencapai Rp 50 miliar. Tahun 2000, angka segitu sangat besar.
Anda harus mencatat baik-baik, bisnis itu tak boleh hanya mikirin untung semata. Sebelum memikirkan prinsip-prinsip lainnya, sebuah entitas bisnis harus lebih dulu mengedepankan etika. Tanggung jawab moral, kejujuran, akuntabilitas, integritas, komitmen, kejujuran dan transparansi merupakan bagian dari etika bisnis.
Prinsip ini menjadi pedoman yang sangat ketat di ATB. Kami menjalankan bisnis dengan penuh etika di semua lini. Urusan transparansi, ATB terbuka terhadap semua informasi yang menjadi hak pelanggan. Kami berikan tanpa harus diminta.
Kalau sekedar buat cari untung besar ATB bisa saja mengalirkan air tanpa diolah terlebih dahulu. Lalu apakah ada yang tahu? Disinilah etika bisnis kita jalankan. Tanpa harus diminta ATB melakukan pengolahan air dengan mengikuti standar yang ditetapkan, dan untuk menjamin itu kami mengambil sampel air untuk dilakukan test di laboratorium. Dari semua WTP, jaringan Distribusi, lokasi tangki penyimpanan dan bahkan secara acak di rumah pelanggan.
Untuk menjamin proses berjalan dengan tertib sesuai aturan, proses sertifikasi ISO dijalankan dengan penuh komitmen. Baik di lokasi pengolahan dan di laboratorium ATB. Sekedar informasi laboratorium ATB adalah yang terlengkap dan terbaik di Kota ini, dan telah di sertifikasi ISO. Mantap kan.
Monitoring kualitas layanan juga sama. Dipantau ketat dan terbuka. Kami sediakan sebuah dashboard yang dapat diakses terbuka di Mall Pelayanan Publik (MPP) Batam Center. Siapapun yang ingin melihat kualitas layanan ATB bisa langsung melihat di MPP. Terbuka. Tak ada yang ditutup-tutupi.
Anda bisa lihat daerah mana yang tekanannya baik. Daerah mana yang tekanannya kurang. Kapasitas air yang diolah ATB juga terpampang disana. Diinformasikan secara real time. Jadi, Anda bisa memastikan bahwa ATB tak akan bisa main-main dengan mengurangi suplai supaya pelanggan kekurangan air.
Tidak ada yang disembunyikan. Apakah ada perusahaan jasa utilitas lain sama terbukanya seperti ATB? Silahkan Anda jawab sendiri.
ATB berkomitmen untuk terus mengedepankan etika bisnis di bidang lingkungan. Kami mengelola semua material sehingga tak mencemari lingkungan. Standar yang kami gunakan diganjar dengan sertifikasi ISO 14001:2015 tentang Sistem Manajemen Lingkungan.
Artinya apa? Semua buangan limbah tidak dibuang ke tempat umum tanpa melalui proses pengolahan yang benar. Terutama limbah B3. Inilah bagian dari tanggungjawab moral ATB untuk tidak mencemari lingkungan.
Berapa banyak perusahaan yang sengaja membuang limbah langsung ke selokan tanpa melakukan pengolahan terlebih dahulu? Itu namanya tak punya tanggungjawab moral. Karena limbahnya itu bisa mencemari air. Kita semua tahu karena itu semua butuh biaya, ya kan?
Sampai hal paling kecilpun kami juga transparan. Termasuk pencatatan meter setiap bulannya. Jika di masa lalu pencatatan meter dilakukan dengan cara ditulis manual, sehingga besar kemungkinan terjadi kesalahan. Kami telah menggunakan teknologi Mobile Meter Reading yang berbasis sistem scan menggunakan smartphone, dan GPS.
Jadi, kalau ada pelanggan yang protes, kami bisa langsung menunjukan data pencatatan meternya. Tanpa meleset satu angkapun. Karena ada foto meterannya. Pelanggan yang tak sepakat bisa melihat langsung. Ini membuat pelanggan mendapat kepastian informasi penggunaan air. Mereka mendapatkan hak sesuai dengan biaya yang mereka keluarkan.
Namun ironisnya, justru banyak pelanggan yang tak beretika. Mereka sudah mendapatkan haknya, tapi tak mau menjalankan kewajibannya. Malah berusaha mangkir. Bahkan ada yang mencuri air! Mereka tidak sadar, apa yang mereka lakukan itu telah merugikan pelanggan lainnya.
Sementara pelanggan lain bayar penuh, mereka mau bayar murah. Padahal menggunakan air lebih banyak. Mereka tidak fair dengan pelanggan lain. Bukan hanya dengan ATB. Konyolnya kejadian ini banyak terjadi di pelanggan bisnis. Artinya mereka tidak menjalankan etika dalam berbisnis, keuntungan diraih dengan cara yang tercela!
Yang kedua, pelanggan yang jaringan dalam rumahnya bocor tapi tak mau membenahi. Giliran tagihan melonjak, mereka tak mau bayar. Ini juga sama saja.
Harusnya, etika tak hanya dituntut datang dari pengusaha. Dalam hal ini ATB. Tapi dengan cara yang sama, pelanggan juga harus mengedepankan etika dalam hal pemanfaatan air. Karena air adalah hak semua orang, sehingga harus berkeadilan.
Oke, cukup soal ATB.
Sekarang mari kita perhatikan, siapa yang jadi korban dari praktik bisnis yang mengesampingkan etika? Pelanggan. Mungkin malah Anda sendiri yang sudah jadi korban. Hanya belum sadar saja.
Salah satu yang sedang marak adalah jualan kuota internet. Pada tahun 2018 terdapat lebih dari 171 juta pengguna internet di Indonesia. Internet adalah dagangan luar biasa.
Dalam iklannya, provider menyebutkan kecepatan internet yang mereka sediakan mencapai hingga 30 Mbps. Namun setelah digunakan, pelanggan cuma dapat kurang dari 1 Mbps. Keuntungan yang didapat bisa lebih dari 30 kali lipat! Apakah hal ini anda sadari? Dan apakah ini beretika?
Tentu tidak beretika. Lalu kenapa dijalankan? Karena mereka tahu tidak semua pelanggan concern tentang hal ini. Tidak semua pelanggan melek teknologi. Sehingga memberikan ruang buat mereka untuk mengeruk untung lebih besar.
Fakta ini tak pernah dijelaskan kepada pelanggan. Pokoknya, promosi jor-joran. Menutupi sebagian fakta yang seharusnya diberikan kepada pelanggan. Produk laku keras. Namun merugikan pelanggan karena harus membayar untuk penggunaan kapasitas maksimal, tapi yang bisa dimanfaatkan hanya kurang dari 10 persen dari yang dijanjikan. Kita tahu tidak semua melakukan seperti ini, itulah perusahaan yang berkelas.
Perusahaan tak boleh mencari keuntungan dengan mengorbankan hak pelanggan. Perusahaan yang hanya mementingkan keuntungan dengan mengabaikan tanggungjawab dan kepeduliannya, adalah perusahaan yang tidak berkualitas, dan perusahaan yang tercela.
Mari kita pikirkan.
Salam Kopi Benny. (*)